MIMIKA – Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Mimika menggelar sosialisasi hukum terkait sengketa pencalonan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2024 yang digelar di Hotel Cendrawasih 66, Rabu (31/7/2024).
Dalam sosialisasi tersebut, Bawaslu Mimika menghadirkan para narasumber melalui zoom meeting. Diantaranya, Hakim Mahkamah Konstitusi RI Periode 2014-2022, Prof. DR Aswanto, Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini, Ketua DKPP KPU RI Periode 2016-2022 Prof. DR Muhammad Alhamid, Komisioner KPU Mimika Divisi Hukum Hironimus Ladoangin Kiaruma, Koordinator Divisi Hukum dan penyelesaian sengketa Bawaslu Mimika Arah, dan Koordinator Penanganan Pelanggaran dan Informasi Bawaslu Mimika Diana Dayme.
Koordinator Divisi Hukum Bawaslu Kabupaten Mimika, Arfah mengatakan, untuk menjamin terselenggaranya demokrasi di Mimika yang berkualitas dalam pemilihan kepala daerah tahun 2024 ditentukan melalui pelaksanaan tahapan-tahapan yang diselenggarakan oleh KPU Provinsi dan Kabupaten.
Berdasarkan pasal 5 ayat 3 UU Nomor 1 tahun 2015 tentang penetapan Peraturan Pemerintah (PP) pengganti UU Nomor 1 tahun 2015 tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota sebagai UU sebagaimana sudah beberapa kali diubah terakhir UU nomor 6 tahun 2020 tentang penetapan Peraturan Pemerintah pengganti UU nomor 2 tahun 2020 tentang perubahan ketiga atas UU nomor 1 tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU nomor 1 tahun 2015 tentang pemilihan Gubernur, Bupati Dan Wali Kota menjadi UU pemilihan yang mengatur tentang tahapan penyelenggaraan pemilihan.
Yang pertama pengumuman pendaftaran pasangan calon, pendaftaran pasangan calon gubernur wakil gubernur, penelitian persyaratan calon, penetapan pasangan calon, pelaksanaan kampanye, pelaksanaan pemungutan suara, penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara, penetapan calon terpilih, penyelesaian pelanggaran dan sengketa hasil pemilihan.
“Melalui kegiatan sosialisasi kami (Bawaslu Mimika) mengajak dan menghimbau kepada seluruh lapisan masyarakat, ormas, pemuda, media, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat untuk mengambil peran aktif bersama Bawaslu dan pihak keamanan untuk bersama-sama menjaga keamanan dan mengawal seluruh proses tahapan pilkada tahun 2024 agar berjalan dan damai sesuai dengan mekanisme peraturan perundang-undangan yang berlaku,” kata Arfah.
Sementara itu, dalam pemaparannya, Hakim Konstitusi Periode 2014-2022, Prof. DR Aswanto menjelaskan terkait sengketa calon kepala daerah terdapat beberapa putus Mahkamah Konstitusi yang ditafsirkan , sesuai dengan tema yang diberikan yaitu mencoba menafsir terkait pernah menjabat sebagai kepala daerah.
“Berkaitan dengan pernah menjabat sebagai kepala daerah ada beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang terkait dengan itu yang pertama ada putusan Nomor 8 Tahun 2008 sekalipun putusan itu ditolak tetapi ada pertimbangan hukum yang kedua adalah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22 Tahun 2009 putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67 tahun 2020 dan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 63 tahun 2021,” kata Aswanto melalui zoom meeting.
Lanjutnya, Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 63 tahun 2021 terkait sengketa pemilihan kepala daerah bukan terkait pengujian undang-undang tetapi terkait dengan sengketa pemilihan kepala daerah dan permohonan dari pemohon ditolak.
“Sehingga hal ini yang perlu kita diskusikan dan tidak melakukan tafsir yang keliru terhadap apa yang tertuang di dalam putusan-putusan itu, karena jujur beberapa mahasiswa yang di S1 sama S2 yang melakukan riset selalu mengeluh dan susah mengerti Keputusan Mahkamah Konstitusi jadi putusan Mahkamah Konstitusi tidak hanya bisa Membaca saja secara sepintas, tetapi harus memiliki keahlian khusus untuk memaknai keputusan-keputusan yang dimaksud. Karena kalau tidak maka kita salah memaknai putusan-putusan itu,” jelas Aswanto.
Aswanto menjelaskan, siapa saja bisa menafsirkan atau memaknai berbeda putusan tersebut. Didalam putusan Mahkamah Konstitusi nomor 2 tahun 2023 soal jabatan kepala daerah yang mana disamakan antara definitif dan pejabat sementara. Tentunya berdasarkan peraturan perundang-undangan nomenklatur yang digunakan untuk pejabat sementara itu tentu mempunyai makna.
“Jadi putusan Mahkamah Konstitusi nomor 2 tahun 2023 perkara itu diajukan oleh Bupati Kutai Kartanegara karena pada periode pertama beliau adalah wakil bupati dan kebetulan bupatinya tersangkut dengan hukum, dalam proses untuk menyelesaikan persoalan hukum itu ketika itu pemohon adalah wakil bupati ditunjuk berdasarkan SK Mendagri sebagai PLT atau pelaksana tugas dalam posisi sebagai pelaksana tugas Tentu Dua Posisi atau kewenangan yang bisa dilaksanakan oleh Beliau karena jabatan PLT itu tidak menghilangkan jabatan utamanya sebagai wakil bupati kemudian dia diberikan jabatan pelaksana yaitu Bupati dalam proses hukum Dia diangkat sebagai pejabat definitif setelah putusan yang berkaitan dengan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Bupati ketika itu sudah inkrah atau berkekuatan hukum tetap,” jelasnya.
Ia melanjutkan, bahwa setelah berkekuatan hukum tetap, maka wakil bupati diangkat menjadi PLT untuk didefinitifkan sebagai bupati, hal ini juga terkait dengan putusan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22 Tahun 2009, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67 Tahun 2020, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 63 Tahun 2021.
“Bahwa yang dimaksudkan dengan satu periode itu kalau mereka sudah menjalankan tugas 2 tahun setengah, separuh atau lebih masa jabatan. Putusan Nomor 8 Tahun 2008 sekalipun putusan itu ditolak tetapi ada pertimbangan hukum. Yang kedua adalah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22 Tahun 2009 putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67 tahun 2020 dan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 63 tahun 2021. Ada juga putusan Mahkamah nomor 2 tahun 2009 Nyatakan masa jabatan yang dihitung satu periode adalah masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih dari setengah masa jabatan dihitung sejak pelantikan,” ungkap Aswanto.
Sementara itu, Komisioner Divisi Hukum KPU Mimika, Hironimus Kiaruma menyampaikan terkait beberapa point yang nantinya akan berpotensi terjadi sengketa, salah satunya terkait dengan pencalonan kepala daerah.
Ia melanjutkan, bahwa pihak KPU akan berkoordinasi dengan KPU RI untuk meminta pertimbangan terkait dengan masa jabatan kepala daerah, walaupun sudah dijelaskan oleh Prof. Aswanto yang merupakan Hakim Mahkamah Konstitusi periode 2014-2022.
“Kami akan berkoordinasi dengan KPU RI”, Kata Hironimus yang dikutip saat menyampaikan sosialisasi terkait tahapan pencalonan kepala daerah.
Untuk menyaksikan seluruh diskusi tersebut, KLIK DISISINI !!!